Kepatuhan Hukum di Kaimana Terancam, Ketika Putusan Mahkamah Agung Diabaikan

Oleh : Fazlurachman Gusalauw Ombaier*)
Kasus yang menimpa Jance Haurisa, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Kaimana, menyoroti persoalan serius terkait kepatuhan hukum oleh pejabat publik.
Rangkaian peristiwa yang terjadi menunjukkan adanya indikasi pengabaian putusan pengadilan tertinggi oleh Bupati Kaimana, yang berpotensi merusak sendi-sendi hukum dan keadilan di daerah tersebut.
Pada tahun 2021, Jance Haurisa dan 40 ASN lainnya didemosi oleh Bupati Kaimana.
Merasa dirugikan, mereka menempuh jalur hukum. Setelah melalui proses panjang di Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang merekomendasikan pengembalian jabatan, para ASN ini membawa kasusnya ke meja hijau.
Hasilnya, putusan yang berpihak kepada para ASN secara konsisten keluar dari setiap jenjang peradilan. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura mengabulkan permohonan mereka. Ketika Bupati Kaimana mengajukan banding, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Manado menolak permohonannya. Puncaknya, Mahkamah Agung (MA) juga menolak kasasi yang diajukan Bupati, menegaskan putusan pengadilan sebelumnya dan memerintahkan pembatalan SK demosi.

Putusan Mahkamah Agung yang inkracht seharusnya menjadi ujung dari persoalan ini. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Bupati Kaimana tidak melaksanakan putusan tersebut. Bahkan, pada September 2024, Jance Haurisa, yang merupakan salah satu pemohon utama, justru diberhentikan dengan hormat, tidak atas permintaan sendiri. Meskipun SK Pemberhentian ini didasarkan pada alasan disiplin yang berbeda, yaitu tidak masuk kerja tanpa izin, waktu penerbitannya yang berdekatan dengan putusan MA memunculkan pertanyaan besar tentang motif di baliknya.
Kejanggalan semakin bertambah dengan adanya surat dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada 22 Mei 2025. Alih-alih mengacu pada putusan MA, BKN justru menginstruksikan Bupati untuk melanjutkan proses pensiun berdasarkan keputusan pemberhentian yang diperkuat oleh Badan Pertimbangan ASN (BPASN). Tindakan ini secara tidak langsung mengabaikan keputusan tertinggi dari lembaga yudikatif dan berpotensi menimbulkan preseden buruk bahwa lembaga administratif bisa menimpa putusan pengadilan.
Kasus Jance Haurisa bukan hanya tentang seorang ASN, tetapi tentang tegaknya hukum di Indonesia. Ketika putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap diabaikan oleh pejabat publik, maka keadilan bagi masyarakat terancam. Pemerintah Pusat, melalui Kementerian Dalam Negeri dan Ombudsman, harus segera mengambil tindakan tegas untuk memastikan putusan Mahkamah Agung dijalankan. Jika tidak, kasus ini akan menjadi presenden buruk bahwa pejabat daerah dapat dengan mudah mengangkangi hukum tanpa konsekuensi.(*)
*)Penulis adalah Pemerhati Sosial Kemasyarakatan Tinggal di Kaimana