Antara Ambisi Ketahanan Pangan dan Realitas Kerusakan Alam

Oleh: Rahmiani Tiflen, S.Kep — Aktivis Muslimah
Program food estate di Tanah Papua kembali mengemuka sebagai bagian dari agenda besar pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Namun di balik retorika kemandirian pangan, muncul berbagai persoalan mendasar yang menunjukkan bahwa proyek ini tidak berjalan sebagaimana harapan.
Pembangunan yang Sarat Ambisi
Pemerintah menargetkan pengembangan kawasan food estate di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, dengan luasan mencapai 2 juta hektar (Olenka, 2025). Angka ini menunjukkan skala ambisi yang luar biasa besar. Namun, hingga kini, realisasi lapangan sangat jauh dari perencanaannya. Data dari Kementerian Koordinator Perekonomian menunjukkan bahwa dari sekitar 109.833 hektar lahan cetak sawah, hanya 46% yang memiliki jaringan irigasi memadai (Mongabay, 14/08/2025).
Artinya, proyek yang digadang sebagai penopang ketahanan pangan nasional ini belum memiliki infrastruktur dasar yang memadai. Akibatnya, hasil produksi pun rendah: di lahan percobaan food estate Merauke, produktivitas padi hanya berkisar 2–3,5 ton per hektar, masih jauh di bawah rata-rata nasional sekitar 5 ton per hektar (Epublikasi Kementerian Pertanian, 2019).
Motif Ekonomi dan Pola Pembangunan yang Berulang
Secara konseptual, food estate bertujuan mengintegrasikan pertanian modern, infrastruktur, dan investasi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun dalam praktiknya, pola pembangunan yang muncul memperlihatkan dominasi kepentingan korporasi ketimbang keberpihakan pada rakyat.
Kajian FIAN Indonesia (2023) menegaskan bahwa proyek ini “belum memiliki dokumen publik yang jelas” tentang rencana tata ruang, potensi konflik agraria, serta dampak sosial terhadap masyarakat adat. Sebagian besar lahan yang diklaim sebagai food estate ternyata merupakan wilayah adat yang menjadi sumber kehidupan warga Papua. Akibatnya, pembangunan yang seharusnya menyejahterakan justru berpotensi menimbulkan ketegangan sosial dan ekologis baru.
Untuk Siapa Pembangunan Ini?
Pertanyaan fundamental pun mengemuka, untuk siapa pembangunan ini dijalankan?
Jika masyarakat adat kehilangan tanahnya, hutan dibabat, dan produktivitas pangan tidak meningkat, maka manfaat pembangunan menjadi patut dipertanyakan.
Padahal, pemerintah telah mengalokasikan anggaran lebih dari Rp105 triliun untuk pengembangan food estate nasional (CIPS, 2025). Jumlah ini tentu sangat besar, dan publik berhak menuntut transparansi serta akuntabilitas atas penggunaannya. Jika proyek sebesar ini gagal memberikan hasil signifikan, maka kita tengah menyaksikan pemborosan anggaran rakyat atas nama pembangunan.

Dalam konteks ekonomi rakyat, sektor pangan sejatinya memiliki potensi besar sebagai penyerap tenaga kerja dan penggerak ekonomi riil. Namun, potensi itu hanya bisa diwujudkan bila dikelola secara profesional, berbasis riset, dan berpihak pada masyarakat — bukan dikuasai oleh kepentingan investasi dan ambisi politik jangka pendek.
Paradigma Pembangunan yang Antroposentris
Kegagalan proyek food estate di berbagai daerah, termasuk Papua, bukan hanya soal teknis. Ia berakar pada paradigma pembangunan yang antroposentris dan eksploitatif — memandang alam semata sebagai objek ekonomi. Dalam paradigma seperti ini, nilai-nilai moral dan keseimbangan ekologis sering terabaikan.
Islam memandang bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi, dengan tanggung jawab menjaga keseimbangan dan keberlanjutan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (menyenangkan), dan sungguh Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya. Maka Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat.”(HR. Muslim)
Prinsip ini mengandung makna universal, bahwa pembangunan seharusnya tidak mengorbankan alam dan manusia demi keuntungan jangka pendek. Dalam perspektif etika Islam, keadilan, keberlanjutan, dan kemaslahatan adalah fondasi pembangunan sejati.
Penutup
Papua, dengan kekayaan alamnya, tidak seharusnya dijadikan laboratorium ambisi pembangunan yang serampangan. Proyek food estate seharusnya menjadi wadah kolaborasi antara ilmu pengetahuan, kearifan lokal, dan nilai moral yang luhur — bukan instrumen politik pencitraan atau sarana akumulasi ekonomi segelintir pihak.
Kita perlu meninjau ulang paradigma pembangunan nasional. Ketahanan pangan tidak akan terwujud melalui proyek raksasa yang mengabaikan ekosistem sosial dan alamiah, melainkan dengan pendekatan yang holistik — menempatkan manusia, alam, dan nilai kemanusiaan dalam satu kesatuan utuh.
Hanya dengan perubahan paradigma semacam ini, pembangunan akan benar-benar menjadi sarana mewujudkan kesejahteraan, bukan sumber kerusakan yang diwariskan kepada generasi berikutnya.
Wallahu ‘alam bissawab.
Penulis adalah Aktivis Muslimah, Tinggal di Kaimana Papua Barat