Pendekatan Holistik dalam Penanggulangan HIV/AIDS
Oleh: Rahmiani Tiflen, S.Kep
HIV/AIDS hingga kini masih menjadi tantangan besar dalam dunia kesehatan, termasuk di wilayah seperti Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Di balik angka-angka kasus yang terus bertambah, tersembunyi kompleksitas persoalan yang tidak bisa ditangani hanya dengan pendekatan medis. Penyakit ini tumbuh subur dalam lingkungan sosial yang permisif, di bawah sistem yang menjunjung tinggi kebebasan individu tanpa batas. Maka, untuk benar-benar menanggulangi HIV/AIDS secara tuntas dan berkelanjutan, dibutuhkan pendekatan yang lebih utuh—yang tidak hanya menyentuh aspek fisik, tetapi juga menyapa sisi moral, spiritual, serta tatanan kehidupan masyarakat secara menyeluruh.
Fakta Lapangan dan Realita Sosial
Berangkat dari data lokal, laporan Puskesmas Kaimana mencatat sebanyak 51 kasus baru HIV sepanjang tahun 2024, sehingga total kasus kini mencapai 505 orang (RRI, 29/03/2025). Tren ini mencerminkan kondisi yang mengkhawatirkan, seiring dengan peningkatan kasus di tingkat provinsi yang mencatat 540 kasus baru dalam periode yang sama. Secara nasional, jumlah penderita HIV telah menembus angka 526.841 kasus, dengan 76% terkonsentrasi di 11 provinsi (Kemenkes RI, 2025).
Di Kabupaten Kaimana, penyebaran HIV paling dominan terjadi melalui hubungan seksual berisiko, terutama di kalangan pekerja seks komersial (PSK). Terdapat 22 tempat hiburan aktif dengan sekitar 110 PSK, dan 7 orang di antaranya telah terdeteksi positif HIV/AIDS (KaimanaKab.go.id, 17/06/2023). Tak hanya itu, potensi penularan dari ibu ke anak juga menjadi ancaman serius. Meskipun data resmi tahun 2024 belum tersedia, perkiraan menunjukkan bahwa tanpa intervensi medis, risiko penularan bisa mencapai 20–50% (KCPAPUA, 2019).
Sayangnya, upaya pencegahan sering kali terhambat oleh rendahnya literasi kesehatan reproduksi yang selaras dengan nilai spiritual, serta keterbatasan akses layanan kesehatan, khususnya di komunitas adat. Norma budaya yang masih menganggap tabu pembahasan seputar seksualitas, turut memperkuat kebuntuan edukasi di lapangan.
Kritik terhadap HAM dalam Sistem Sekuler Kapitalisme
Namun, lebih dari sekadar persoalan teknis, terdapat persoalan mendasar dalam kerangka berpikir kebijakan publik. Pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) dalam sistem sekuler kapitalisme cenderung memuliakan liberalisme—yaitu kebebasan individu tanpa batas sebagai hak mutlak. Dalam konteks ini, perilaku seksual bebas, eksploitasi tubuh dalam industri hiburan, hingga konsumsi miras dianggap sebagai pilihan pribadi yang sah dan tak boleh diganggu.
Konsekuensinya, kebebasan yang dilepaskan dari nilai moral justru membuka lebar pintu bagi perilaku yang berisiko tinggi. Prostitusi, pornografi, hingga penyimpangan seksual dibiarkan subur atas nama “hak individu”, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat secara kolektif. Tak heran jika sistem ini justru menjadi lahan subur bagi penyebaran penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS.

Islam memandang persoalan ini dari perspektif yang sangat berbeda. Dalam ajaran Islam, HAM bukanlah kebebasan tanpa batas yang bertentangan dengan akhlak dan tanggung jawab. Islam tidak mengenal konsep liberalisme. Sebaliknya, Islam menempatkan syariat sebagai pedoman hidup yang mengatur hubungan manusia dengan sesama dan dengan Tuhannya. Tujuannya adalah menjaga lima aspek dasar kehidupan: jiwa, akal, keturunan, harta, dan agama. Karena itu, solusi yang sejati tak cukup hanya berbasis HAM dalam bingkai sekuler, melainkan harus berakar pada nilai-nilai spiritual yang kokoh dan menyeluruh.
Mencegah dari Akar, Bukan Sekadar Mengobati Akibat
Islam menawarkan pendekatan yang holistik dan menyeluruh dalam menghadapi masalah HIV/AIDS. Pendekatan ini berpijak pada tiga pilar utama: ketakwaan individu, kontrol sosial masyarakat, dan peran negara dalam menerapkan syariat.
- Ketakwaan Individu
Ketakwaan menjadi benteng pertama dalam mencegah perilaku menyimpang. Islam menegaskan bahwa hubungan seksual hanya sah dalam ikatan pernikahan. Dengan mematuhi aturan ini, maka jalur utama penularan HIV dapat diputus sejak awal.
Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (QS. Al-Mu’minun: 5–6)
Maka dari itu, pendidikan akhlak dan tsaqafah Islam sejak usia dini menjadi kunci dalam membentuk pribadi yang kuat, bertanggung jawab, dan menjaga kehormatan diri.
- Kontrol Sosial Masyarakat
Islam juga mengajarkan pentingnya peran masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang sehat secara moral. Konsep amar ma’ruf nahi munkar menjadi instrumen sosial untuk mencegah kemaksiatan dan menyemai kebaikan di tengah masyarakat.
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Ketika masyarakat menjalankan fungsinya sebagai penjaga moral publik, maka praktik seperti seks bebas, prostitusi, dan penyimpangan lainnya akan mendapat penolakan tegas secara sosial.
- Peran Negara: Pelindung dan Pengatur Kehidupan
Negara, dalam pandangan Islam, adalah institusi yang bertanggung jawab mengelola dan menjaga kehidupan masyarakat agar tetap dalam koridor syariat. Negara wajib menyediakan layanan kesehatan berkualitas secara merata dan gratis, serta menghapus sumber-sumber kemaksiatan dari ruang publik.
Negara harus menutup tempat-tempat hiburan maksiat, melarang pornografi, dan menindak tegas praktik prostitusi. Inilah bentuk pencegahan struktural yang kokoh dan berkelanjutan.
Dalam sejarah peradaban Islam, konsep ini bukanlah angan-angan. Bimaristan—rumah sakit di masa kejayaan Islam—didirikan di berbagai kota besar seperti Baghdad dan Damaskus, dengan pelayanan gratis dan teknologi medis mutakhir pada zamannya. Ini membuktikan bahwa negara mampu dan serius menjaga kesehatan masyarakat secara menyeluruh.
Penutup
Masalah HIV/AIDS tak akan selesai hanya dengan pembagian kondom, kampanye HAM, atau tes kesehatan berkala. Selama akar penyebabnya—gaya hidup bebas dalam sistem sekuler liberal—masih dibiarkan hidup dan berkembang, maka angka kasus akan terus meroket.
Sudah saatnya solusi yang diambil bersifat komprehensif dan menyentuh akar persoalan. Ketika individu hidup dalam ketaatan kepada aturan Ilahi, masyarakat menjalankan kontrol sosial yang sehat, dan negara mengambil peran aktif dalam menegakkan syariat secara menyeluruh, maka insyaAllah HIV/AIDS bukan hanya bisa ditekan, tetapi diberantas hingga ke akarnya.
Inilah pendekatan holistik sejati—pendekatan yang tidak hanya menyembuhkan, tetapi juga mencegah serta membangun peradaban yang sehat, bersih, dan bermartabat. Wallahu a’lam bisshawab.
Penulis adalah Tenaga Kesehatan
Tinggal di Kaimana