Mengurai Benang Kusut Pendidikan bagi Putra/Putri Asli Kaimana Melalui Pendidikan Berpola Asrama

0
www.kabartriton.net

Oleh : Elisabeth Dee, S. Pd*

Selayang Pandang

Kabupaten Kaimana merupakan satu dari 13 kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat yang diresmikan pada 11 Desember 2002 dengan dasar hukum UU Nomor 26 Tahun 2002. Sebelumnya, wilayah Kaimana merupakan bagian distrik dari Kabupaten Fakfak.

Secara geografis, Kaimana terletak di selatan Papua yang berbatasan dengan Laut Arafuru di selatan, sebelah utara dengan Kabupaten Bintuni dan Wondama, sebeluh timur berbatasan dengan Kabupaten Nabire, dan sebelah barat dengan Kabupaten Fakfak.

Luas wilayahnya mencakup daratan mencapai 18.500 km2 dan luas lautan/perairan sekitar 17.500 km2. Adapun populasi penduduk berdasarkan sensus 2018, tercatat 58. 404 jiwa dengan laki-laki 30.984 jiwa dan perempuan 27.510 jiwa.

Secara sebaran, sekitar 38.728 jiwa penduduk terkonsentrasi di pusat kota sekaligus ibu kota kabupaten ini yakni Kota Kaimana. Itu berarti, sekitar 66,31% penduduk berada di kota. Sisanya tersebar di wilayah pesisir dan pedalaman yang sejatinya lebih luas.

Secara administratif, Kabupaten yang bermotto  it ftag esu, it  rarum esu (satu hati satu tujuan)itu memiliki tujuh wilayah distrik, yaitu Distrik Buruway, Distrik Kaimana, Distrik Teluk Etna, Distrik Kambrauw, Distrik Arguni Atas, Distrik Arguni Bawah, dan Distrik Yamor. Terdapat  dua wilayah kelurahan dan 84 kampung yang tersebar dari Pigo hingga Ure.

Adapun etnis asli yang mendiami wilayah Kaimana dikenal dengan sebutan delapan suku yaitu ; suku Mairasi, suku Irarutu, suku Madewana, suku Oburauw, suku Napiti, suku Kuri, suku Koiwai, dan suku Miere.

Penduduk asli Kaimana ini umumnya mendiami wilayah pedalaman dan perkampungan. Mereka hidup bergantungan pada alam; bercocok tanam, menokok sagu, berburu, hingga melaut. Kehidupan yang demikian didukung limpahnya sumber hasil hutan rimba dan perairan yang luas dan terhampar di berbagai titik. Namun demikian, sebagian kecil penduduk asli juga bermigrasi ke kota dan hidup dengan penduduk pendatang yang mayoritas mendiami wilayah Kaimana Kota.

Penduduk pendatang dimaksud adalah kelompok etnis nusantara yang membentuk gugus Indonesia yang heterogenik itu. Dengan kata lain, Kaimana Kota menyajikan Indonesia Mini dilihat dari komposisi penduduk yang datangnya dari Sabang sampai Merauke. Maka tak mengherankan, bahwa Kaimana Kota dengan sendirinya membentuk diri sebagai sentra perdagangan, sentra ekonomi, sentra pemerintahan, sentra modernitas termasuk menjadi sentra pendidikan dan kesehatan.

Bagaimana Wajah Pendidikan Suku Asli?

Tak dipungkiri, bahwa sebelum Papua integrasi ke Indonesia, pendidikan di Papua (dulunya Irian Barat lalu Irian Jaya) disentuh oleh karya gereja melalui Misi Katolik dan Zending Protestan.

Jejak pendidikan mereka di wilayah Kaimana masih terlihat seperti SD YPPK St. Fransiskus, SD dan SMP YPK Kaimana, juga yang terdapat di kampung seperti SD YPK Lobo, SD YPPK Werafuta. Sekolah yang dikelola gereja itu memainkan peran sebagai peletak dasar peradaban orang Papua umumnya dan orang Kaimana khususnya, sebab sebelum itu, belum ada sekolah negeri atau yayasan lainnya.

Konon, banyak pejabat Kaimana dulunya bersekolah di SD YPPK. Pendidikan yang digalakkan saat itu baru sebatas pendidikan dasar hingga muncul pemerintah dengan bendera negerinya, merambah pendidikan dasar, menengah pertama hingga menengah atas. Bisa dibayangkan, bagaimana tingkat partisipasi pendidikan penduduk asli ketika pemerintah belum masuk ke pelosok-pelosok.

Bersumber dari UUD 1945, maka pemerintah mengatur pendidikan tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003.  Dalam UU Sisdiknas pada pasal 1 dikemukakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Selanjutnya disebutkan pula pada pasal 3 Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa: Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Secara tersirat menjelaskan bahwa pendidikan digunakan untuk mengembangkan diri individu guna perkembangan dan kemajuan bangsa. Maka pendidikan digunakan untuk mempersiapkan suatu individu dalam menghadapi perkembangan dunia menuju revolusi industri 4.0 yang membuat semua orang harus kreatif, inovatif, cakap, berilmu, mandiri, cermat, akurat, dan dapat memanfaatkan teknologi yang sementara terus berkembang, namun tidak meninggalkan nilai-nilai sikap, moral, dan keagamaan yang masih menjadi budaya bangsa.

Merujuk pada amar Undang-Undang tersebut, pemerintah pun gencar membuka dan mengoperasikan sekolah secara merata. Jika sebelumnya pendidikan dasar terbatas di kota, maka kini hampir setiap kampung telah ada SD. Setelah pemekaran menjadi kabupaten, di setiap distrik kini sudah dibangun SMP. Sebelumnya, SMP terpusat di kota.

Selain itu, pemerintah hadir dalam bentuk penugasan tenaga pendidik baik berstatus ASN maupun kontrak yang disebar di semua sekolah di kampung maupun kota. Sedangkan untuk pendidikan SMA/K, hingga kini masih terpusat di kota. Ini terjadi bukan karena kelalaian pemerintah, tapi lebih disebabkan faktor persebaran penduduk dan letak geografis. Itu berarti, setiap anak asli Kaimana yang lulus dari SD dan SMP di kampung, harus bermigrasi ke kota untuk melanjutkan pendidikan SMA/K.

Migrasi berarti mereka menghadapi suatu kenyataan hidup yang lain; mereka terpisah dengan orang tua, mereka harus mandiri atau tinggal dengan sanak family lainnya, mereka bahkan harus mengalami perubahan kultur (cultural shock) alias guncangan budaya. Pada titik inilah, pendidikan berpola asrama digaungkan sebagai cara paling tepat mewadahi situasi itu.

Orangtua Kehilangan Kendali Mendidik Anak

Seperti dikatakan di atas, bahwa untuk melanjutkan pendidikan ke SMA/K, setiap anak asli Kaimana (umumnya lulusan dari kampung) harus bermigrasi ke kota (Kaimana Kota). Itu berarti anak-anak akan hidup terpisah dengan orang tuanya. Mereka harus menghadapi suatu siklus hidup baru. Pada tingkat tertentu, mereka memasuki sebuah budaya hidup yang lain.

Kita bisa membayangkan seorang remaja yang hidup dalam asuhan orang tua dan hidup di kampung dengan segala dimensi keterbatasannya. Tiba-tiba, sang anak menemukan diri hidup di kota dengan tawaran modernitas. Parahnya, ia terlepas dari orang tua.

Di sini kita berbicara tentang terputusnya kendali orangtua terhadap anaknya. Orang tua tidak dapat menjamin bahwa anak dapat belajar dengan baik; lingkungan pergaulan yang baik atau tidak; anak ke sekolah secara rutin dan intens atau tidak; hingga bahkan, apakah anaknya tinggal di rumah yang layak atau tidak?

Selain itu,  dari beberapa wawancara yang dilakukan dengan beberapa anak dari kampung diperoleh data bahwa : mereka sering tidak datang ke sekolah karena tidak punya uang transportasi; mereka harus membantu pekerjaan di rumah tumpangannya, alhasil mereka selalu terlambat, fokus mereka, bukan lagi sekolah apalagi belajar melainkan kerja sampingan.

Akhirnya, banyak dari mereka memilih drop out.  Tak jarang disajikan kisah, anak-anak ditampung sekadarnya di rumah lalu mereka hidup bebas saja. Akhirnya, banyak yang hamil. Banyak yang terbuai miras. Kemudian putus sekolah dan mungkin kembali ke kampung. Sungguh, suatu kenyataan pilu ketika kita membayangkan bagaimana anak-anak asli ini menyiapkan diri, mengambil alih estafet generasi tua untuk membangun negeri ini.

Merujuk pada pengalaman bersekolah di SMP dan  SMA YPPK Kaimana Kota, bahwa siswa yang banyak drop out dengan aneka alasannya didominasi oleh anak-anak asli dari kampung. Entah di sekolah lain.

Pendidikan Berpola Asrama

Dalam menghadapi permasalahan di atas, solusi yang mutlak  ditawarkan adalah adanya suatu lembaga pendidikan yang menggunakan fasilitas asrama sebagai tempat tinggal peserta didik. Pendidikan model ini menghendaki pendidik dan peserta didik terlibat secara langsung dalam proses pendidikan, terintegrasi, dan terkontrol secara masif. Ini disebut sebagai Pendidikan Pola Asrama atau Pendidikan Berasrama (boarding school).

endidikan pola asrama dapat dimaknai pula sebagai suatu proses pendidikan dengan pendidik dan peserta didik berada dalam satu lingkungan pendidikan yang homogen dan tinggal menetap dalam waktu yang cukup lama. Adapun tujuan pendidikan model ini antara lain adalah:

  1. Untuk membentuk kepribadian peserta didik secara utuh, yakni adanya aplikasi tiga ranah pendidikan: kognitif, afektif, dan psikomotorik;
  2. Untuk mempertegas aplikasi fungsi guru bukan saja sebagai pengajar melainkan juga sebagai pendidik, pembimbing/pembina, pelatih; sebagai motivator, inovator, dan sekaligus sebagai inisiator;
  3. Untuk mempermudah guru dalam mengadakan kontrol terhadap peserta didik, atau sebaliknya (feedback control) ;
  4. Terciptanya suasana kekeluargaan yang demokratis dan harmonis; dan
  5. Membentuk kedisiplinan dan kemandirian peserta didik terutama dalam belajar dan menjalankan doa dan ibadat tepat pada waktunya. Pendidikan pola asrama sebagai salah satu teknik lembaga pendidikan yang menginginkan adanya peningkatan kualitas pendidikan bagi peserta didiknya senantiasa berusaha menjadi lembaga pendidikan terbaik dan diminati oleh publik. Dalam proses menuju pendidikan berkualitas, pendidikan yang mampu eksis dalam persaingan global membutuhkan banyak faktor yang turut serta dalam mempercepat proses menuju pendidikan bermutu. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh lembaga pendidikan dengan menggunakan asrama sebagai katalisator pendidikannya.

Sebagai contoh sekolah SMP & SMA YPPK ST. THOMAS AQUINO Kaimana yang bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Kaimana dan Gereja Katolik ST. Martinus Kaimana telah  membuka Asrama Putri St. Theresia untuk menampung anak-anak Kaimana kurang mampu dan umumnya anak asli Kaimana dari kedua sekolah tersebut.

Saat ini penghuni asrama yang menempuh pendidikan berjumlah 48 peserta didik. Mereka dididik  dengan sistem  dan regula (aturan) asrama yang ketat. Asrama tersebut dikelola oleh Biarawati Misi Kongregasi CIJ yang dipimpin oleh saya sendiri, Suster Maria Adolphina CIJ, dengan dibantu tiga orang pengasuh asrama. Para pengasuh ini notabene adalah guru di YPPK (Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik) Keuskupan Manokwari – Sorong Wilayah Kaimana.

Selain ketiga pendamping tetap tersebut, saya sebagai penanggungjawab asrama melibatkan beberapa guru dan mentor untuk memberikan les privat yang pelaksanaanya terjadwal malam hari dan dilaksanakan beberapa kali dalam sepekan.

Les dimaksud adalah penguatan IT, Ketrampilan Berbahasa Inggris, Musikal, dan Berorganisasi. Pemilihan materi pendalaman ini dimaksud sebagai cara asrama membekali diri anak-anak secara paripurna dalam aneka ranah hidup. Para Pembina juga mengatur kegiatan berkala lainnya seperti; lomba membaca indah Alkitab, Lomba mendeklamasikan Puisi, Lomba Berdebat, Lomba Bermazmur dan Lomba Berpidato.

Selain kehidupan rutinitas terjadwal di dalam asrama, anak-anak disebar pula dalam kelompok-kelompok doa di lingkungan terutama saat memasuki masa-masa tertentu dalam gereja seperti; Bulan Kitab Suci September, Masa Adven, dll.

Persebaran ini dimaksudkan agar anak-anak bersosialisasi dengan para warga umat di luar kelompok mereka. Dalam regula asrama, lambat laun, anak terbiasa hidup diperintah lonceng. Hidup mereka ditentukan lonceng. Lonceng subuh berarti bangun pagi. Lonceng berikut berarti Berdoa, dst  yang siklusnya berakhir hingga pukul 21.00 WIT ketika mereka harus sudah tidur.

Alhasil, setelah melalui pendidikan dan mengatasi regula-regula di asrama ini dapat dikatakan  bahwa anak-anak asrama putri yang berasal dari kampung mengalami peningkatan prestasi belajar di sekolah. Mereka pun selalu hadir di sekolah tepat waktu. Mereka tidak lagi tersandera tidak mempunyai uang transportasi dan makan-minum. Yang mereka lakukan hanya belajar dan mengembangkan dirinya demi masa depan  keluarga, bangsa dan Negara, serta berbakti kepada Tuhan di negeri 1001 senja Kabupaten Kaimana.

Masih tersimpan harapan lain adalah asrama putra untuk putra-putra terkasih dari kampung. Ini soal yang lebih pelik ketika berbicara tentang pribadi pelajar laki-laki di satu sisi, dan tingkat drop out terbanyak adalah siswa laki-laki pada sisi lainnya.

 

* Penulis adalah Kepala SMP YPPK St, Thomas Aquino Kaimana

 

 


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Konten Ini Terlindungi !!!
Please disable your adblock for read our content.
Segarkan