Kemiskinan dan Stunting Masih Menjadi Masalah Negara ; Apakah Kebijakan Pemerintah Efektif dan Terlaksanakan?
Oleh : Antonio Gilberth O. Niron*)
Kemiskinan di Indonesia merupakan salah satu masalah urgen yang perlu penanganan secara bersama, dimana kemiskinan dianggap sebagai faktor utama tumbuhnya angka stunting di negara ini. Stunting adalah kondisi yang ditandai dengan kurang tumbuhkembangnya anak yang disebabkan oleh minimnya asupan gizi.
Kasus kemiskinan dan stunting merupakan dua faktor munculnya sejumlah masalah yang terjadi di negara-negara berkembang. Kasus stunting atau lambat tumbuhkembangnya anak, mengakibatkan SDM yang rendah, dan tentu akan berdampak pada ekonomi masyarakat. Negara-negara yang diperhadapkan pada masalah kemiskinan, tentu akan juga menerima masalah stunting. Dua kasus ini jika tidak ditangani dengan baik, maka negara-negara yang berada pada tingkat ini tidak akan maju.
Lambannya penanganan kemiskinan dan persoalan stunting yang terjadi saat ini merupakan tamparan keras bagi pemerintah pusat, karena Presiden Republik Indonesia sudah mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2021. Regulasi penanganan stunting ini terdiri dari beberapa point penting diantaranya, 1) strategi nasional percepatan penurunan stunting; 2) penyelenggaraan percepatan penurunan stunting; 3) koordinasi penyelenggaraan percepatan penurunan stunting; 4) pemantauan, evaluasi, dan pelaporan; dan 5) pendanaan.
Selain itu, ada juga strategi Pemerintah Indonesia yang dilansir oleh Bank Dunia, bahwa untuk mengatasi masalah kemiskinan, pemerintah melakukannya dengan tiga cara, yakni pertama, memberikan bantuan sosial dan subsidi. Kedua, pemberdayaan masyarakat. Ketiga adalah pembangunan infrastruktur pelayanan dasar.
Menindaklanjuti kebijakan Presiden Republik Indonesia, seperti salah satunya yakni Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P, mengeluarkan kebijakan dengan meminta setiap daerah melakukan pendataan kepemilikan USG dan antropometri untuk penanganan stunting di daerah. Pendataan tersebut dilanjutkan dengan mengajukan pengadaannya ke Kementerian Kesehatan RI. Sedangkan untuk penanganan kemiskinan ekstrem, juga bisa mengalokasikan APBD, Dana Desa, dan BLT karya. Selain itu, ada juga program bansos yang diberikan kepada rakyat miskin diantaranya dalam bentuk kartu Indonesia pintar (KIP), kartu Indonesia sehat (KIS), dan juga program keluarga harapan (PKH).
Penanganan kemiskinan dan stunting sudah banyak dilakukan oleh Pemerintah Pusat, namun mengapa permsalahan kemiskinan dan kasus stunting masih terjadi di seluruh daerah di Indonesia? Sejumlah kebijakan ini pun, telah menimbulkan sikap pro dan kontra di tengah masyarakat.
Menurut Dr. Netty Herawati, M.Si, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tanjungpura Pontianak, menyebutkan program jaminan kesejahteraan untuk Rakyat dari Pemerintah RI misalnya Program Keluarga Harapan (PKH), KIP (Kartu Indonesia Pintar) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) masih memiliki sejumlah kelemahan. Menurut dia, belum ada data base kependudukan yang valid, sehingga berdampak dan beresiko program ini tidak tepat sasaran, sehingga munculnya risiko manipulasi data dari pelaksana di lapangan, karena tidak ada data base kependudukan yang valid, akurat, dan obyektif.
Dia menyebutkan program ini berisiko tidak mendidik masyarakat untuk bekerja cerdas, kreatif, dan mandiri; partisipasi masyarakat lebih bersifat mobilisasi dan mindset masyarakat yang terbentuk ialah mental tidak kreatif atau hanya kreatif manipulasi, serta tidak mandiri. Konsekuensi logisnya adalah masalah kemiskinan akan terus terjadi, jika penanganannya tidak dilakukan secara baik dan benar.
Kebijakan penanganan masalah kemiskinan dan stunting masih terdapatnya banyak kecurangan, mulai dari kasus korupsi hingga pada pengebirian hak-hak rakyat di lapangan serta kinerja aparatur kita yang tidak profesional. Penguasa kita pun ingin mendapatkan keuntungan dari kebijakan ini, seperti penyediaan anggaran untuk rakyat miskin dipotong dari tahap ke tahap, sehingga dana yang diterima oleh rakyat tidak sesuai. Selain penguasa, masyarakat juga belum memiliki kesadaran untuk menolak jika mereka yang kaya masuk dalam daftar penerima manfaat, misalnya KIP (kartu Indonesia pintar) yang seharusnya digunakan untuk masyarakat golongan rendah atau masyarakat miskin, tetapi juga diterima oleh mereka yang memiliki ekonomi menengah ke atas.
Dari permasalahan di atas, tentu harus dilakukan pencermatan dalam menangani masalah kemiskinan dan kasus stunting di Indonesia. Kebijakan yang baik harus diikuti dengan perilaku brirokrasi yang profesional, sehingga dapat melahirkan program yang bermuara kepada kepentingan masyarakat kecil. Kompleksitas permasalahan yang ditangani dengan baik dengan cara yang benar dan tepat, diharapkan dapat menekan angka kemiskinan dan menurunnya angka stunting di Indonesia.***
*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Negeri Andalas Sumatera Barat