Tragedi Papua: Refleksi Hari Kemudian dan Urgensi Solusi Hakiki
Oleh : Rahmiani Tiflen, S.Kep
(Aktivis Muslimah)
Konflik di Papua kembali mencapai titik kulminasi dengan insiden tragis di Yahukimo. Enam guru menjadi korban kebrutalan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), dibakar hidup-hidup dalam serangan yang menyisakan luka mendalam bagi kemanusiaan. Peristiwa ini bukan sekadar tindakan kriminal, tetapi bagian dari problematika yang lebih kompleks—sebuah akumulasi dari ketidakadilan struktural, eksploitasi ekonomi, marginalisasi sosial, serta kegagalan negara dalam menyelesaikan akar masalah secara tuntas. Jika dikaji dalam perspektif hari kemudian, tragedi ini mengundang renungan mendalam: bagaimana seharusnya kita memandang kejahatan ini dalam kerangka pertanggungjawaban di hadapan Allah? Apakah kebijakan yang diterapkan selama ini benar-benar telah membawa keadilan, atau justru memperpanjang siklus penderitaan?
Konflik Papua: Antara Sejarah, Ekonomi, dan Ketidakadilan Struktural
Papua adalah salah satu wilayah yang paling kaya sumber daya alam, namun secara paradoks, tingkat kesejahteraan masyarakatnya masih jauh tertinggal dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Ketimpangan ini telah menjadi salah satu pemicu utama konflik berkepanjangan.
Sejarah mencatat bahwa integrasi Papua ke Indonesia melalui Pepera 1969 penuh dengan kontroversi. Sejak saat itu, perlawanan terhadap pemerintahan pusat terus muncul dalam berbagai bentuk, baik melalui jalur politik, diplomasi internasional, hingga perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan turunannya, termasuk KKB. Berbagai pendekatan telah ditempuh oleh pemerintah Indonesia, mulai dari operasi militer, pembangunan infrastruktur, hingga kebijakan Otonomi Khusus (Otsus). Namun, hingga kini, solusi yang diberikan tampaknya belum mampu menjawab akar permasalahan.
Di balik narasi separatisme dan tindakan kekerasan KKB, terdapat realitas ekonomi dan sosial yang sering kali diabaikan. Eksploitasi tambang emas dan sumber daya alam lainnya oleh korporasi asing, seperti Freeport, telah menimbulkan kesenjangan yang semakin melebar. Masyarakat asli Papua sering kali hanya menjadi penonton dalam eksploitasi kekayaan alam mereka sendiri. Infrastruktur yang dibangun pun lebih banyak menguntungkan kepentingan ekonomi nasional daripada menjawab kebutuhan mendasar masyarakat Papua.
Selain itu, pendekatan keamanan yang cenderung represif justru semakin memperburuk situasi. Pengiriman pasukan dalam jumlah besar, operasi militer yang agresif, serta berbagai tindakan yang dinilai tidak mengedepankan pendekatan kemanusiaan telah meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat. Dalam situasi seperti ini, propaganda kelompok separatis menjadi semakin efektif dalam membangun narasi bahwa satu-satunya jalan keluar bagi Papua adalah dengan melepaskan diri dari Indonesia.
Renungan Hari Kemudian: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Dalam perspektif hari kemudian, setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Islam mengajarkan bahwa menegakkan keadilan bukan sekadar urusan duniawi, tetapi bagian dari amanah yang akan menjadi beban hisab di akhirat. Rasulullah ï·º bersabda:
“Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Dan amal yang paling dicintai Allah adalah memasukkan kebahagiaan pada saudara Muslimnya, menghilangkan kesusahannya, melunasi utangnya, atau menghilangkan rasa laparnya.” (HR. Thabrani)

Maka, pertanyaannya adalah, sejauh mana para pemimpin telah benar-benar berusaha menegakkan keadilan di Papua? Apakah kebijakan yang diterapkan selama ini benar-benar membawa kesejahteraan bagi rakyat Papua, ataukah justru memperpanjang penderitaan mereka? Bagaimana dengan para pelaku kekerasan, baik dari kelompok separatis maupun aparat keamanan, yang menumpahkan darah manusia tanpa hak?
Konteks hari kemudian mengharuskan kita untuk melihat masalah Papua bukan sekadar dari kacamata geopolitik atau ekonomi, tetapi sebagai persoalan moral dan tanggung jawab kolektif. Kekerasan, eksploitasi, dan ketidakadilan bukan hanya menjadi ancaman bagi stabilitas nasional, tetapi juga menjadi beban pertanggungjawaban yang kelak harus dijawab di hadapan Allah Swt.
Solusi Hakiki
Konflik seperti yang terjadi di Papua, tidak akan pernah terselesaikan selama sistem yang diterapkan masih berbasis pada kepentingan pragmatis dan bukan pada keadilan hakiki. Oleh karena itu, Islam menawarkan penyelesaian yang lebih menyeluruh, bukan sekadar solusi tambal sulam yang bersifat jangka pendek. Salah satu aspek utama yang harus diperbaiki adalah sistem ekonomi, karena ketimpangan dalam pengelolaan sumber daya sering menjadi pemicu utama ketidakadilan dan konflik.
Dalam hal ini, negara harus memperhatikan pentingnya redistribusi kekayaan secara adil. Sistem ekonominya pun harus berbasis pada keadilan sosial, di mana sumber daya alam—termasuk yang ada di Papua—seyogianya dikelola oleh negara untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan diserahkan kepada korporasi asing yang hanya memperkaya segelintir elite. Negara mestinya menempatkan kepemilikan umum seperti tambang emas dan gas alam, dikelola demi kemaslahatan rakyat. Sehingga masyarakat lokal dapat merasakan manfaat langsung, dari kekayaan alam mereka sendiri. Dengan demikian, ketimpangan ekonomi yang menjadi salah satu akar konflik dapat diminimalisir.
Selain itu, penyelesaian konflik harus dilakukan melalui pendekatan dialog dan keadilan, bukan dengan dominasi kekerasan. Dalam sejarahnya, Islam telah berhasil menyatukan berbagai suku dan bangsa di bawah satu pemerintahan tanpa harus menempuh konflik berkepanjangan. Oleh sebab itu, permasalahan yang terjadi di Papua seharusnya diselesaikan melalui dialog yang jujur serta penghormatan terhadap hak-hak masyarakat setempat, bukan dengan pendekatan militeristik yang justru semakin memperkeruh keadaan. Dengan dialog yang berlandaskan keadilan, diharapkan tercipta kesepahaman dan harmoni sosial yang lebih kokoh.
Lebih jauh lagi, konsep ini menawarkan solusi dalam membangun identitas berbasis akidah, bukan asimilasi paksa. Salah satu kesalahan dalam kebijakan terhadap Papua selama ini adalah, adanya upaya asimilasi yang mengabaikan identitas dan budaya masyarakat setempat. Islam tidak memaksakan budaya tertentu kepada suatu masyarakat, melainkan membangun persatuan berbasis akidah, yang mengikat seluruh manusia dalam persaudaraan sejati. Oleh karena itu, Papua bukan sekadar bagian dari Indonesia, tetapi juga bagian dari umat Islam yang harus mendapatkan hak-haknya secara penuh. Dengan membangun identitas dan persatuan, ketegangan sosial akibat pemaksaan budaya dapat dihindari, sehingga tercipta harmoni dalam keberagaman.
Dengan demikian tak hanya terjadi penyelesaian solusi parsial, namun memberikan jalan keluar yang lebih komprehensif dalam menyelesaikan konflik di Papua. Dengan menerapkan sistem ekonomi yang solid, pendekatan dialog yang mengutamakan keadilan, serta membangun identitas berbasis Ilahiyah, konflik yang selama ini berlarut-larut dapat diselesaikan dengan cara yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Penutup
Tragedi di Papua harus menjadi titik balik bagi bangsa ini untuk mengevaluasi pendekatan yang selama ini diterapkan. Selama solusi masih berorientasi pada kepentingan politik dan ekonomi semata tanpa mempertimbangkan keadilan hakiki, konflik akan terus berlanjut. Dalam konsep sahih, menawarkan solusi menyeluruh yang mencakup kebijakan, moral, dan spiritual—dengan kepemimpinan yang adil, distribusi kekayaan merata, serta penyelesaian konflik berbasis keadilan. Sebagai individu, kita pun harus bertanya: apakah kita telah bersuara untuk keadilan atau justru membiarkan ketidakadilan berlanjut? Kelak, di hari kemudian, semua ini akan dipertanggungjawabkan. Wallahu ‘alam bissawab.
Penulis adalah Warga Kaimana Tinggal di Kampung Seram