Menelaah Tuntutan Aspirasi Masyarakat Kaimana dalam Perspektif Islam

0

Oleh: Rahmiani Tiflen, S.Kep *) 

Dinamika sosial yang terjadi di Kaimana Papua Barat, memicu keresahan masyarakat. Terutama terkait status tenaga non-ASN, kebebasan berpendapat, dan hak politik. Aksi demo yang terjadi, mencerminkan adanya ketidakpuasan terhadap sistem yang belum sepenuhnya memberikan kepastian dan keadilan. Fenomena ini bukan sekadar persoalan lokal, tetapi gambaran umum dari tantangan tata kelola pemerintahan saat ini. Islam, sebagai sistem yang memiliki konsep keadilan yang menyeluruh, menawarkan solusi yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menyentuh aspek fundamental dalam pengelolaan negara dan kesejahteraan rakyat.

Aspirasi dan Tantangan di Lapangan

Menurut Primarakyat.com, tenaga non-ASN di Kabupaten Kaimana Papua Barat menuntut kepastian status kerja mereka. Meskipun telah lama mengabdi, mereka belum mendapat jaminan yang jelas mengenai masa depan pekerjaan mereka.

Senada dengan itu, laporan RRI pun mencatat bahwa aksi demonstrasi ini mendapat pengamanan ketat. Hal ini menunjukkan bahwa meski kebebasan berpendapat diakui, namun dalam praktiknya masih terdapat kendala dalam penyampaian aspirasi secara efektif.

Adapun laporan yang disajikan oleh Klikpapua.com, menyoroti peran Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) dalam memperjuangkan hak politik masyarakat setempat. Di situ ditekankan bahwa penting kiranya, memastikan bahwa hak tersebut tidak diabaikan dalam proses politik yang berlangsung.

Kelemahan Sistem yang Ada

Ketidakpastian ketenagakerjaan, kebebasan berpendapat yang masih terbatas, serta hak politik yang belum sepenuhnya terakomodasi menunjukkan bahwa sistem yang ada memiliki keterbatasan dalam mewujudkan keadilan sosial, termasuk belum sepenuhnya memberi jaminan kesejahteraan bagi tenaga kerja. Sementara negara hanya berorientasi pada efisiensi ekonomi dibandingkan kesejahteraan individu.

Di sini terlihat, adanya kerancuan dalam tata kelola sistem pemerintahan yang berlangsung. Sementara itu dalam perspektif Islam, memandang bahwa pengelolaan tenaga kerja bukan hanya sebatas kontrak kerja atau efisiensi anggaran, tetapi harus didasarkan pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Ini ditegaskan oleh Baginda Nabi ﷺ melalui sabdanya: _”Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari dan Muslim)_.

Hadis ini menekankan bahwa negara harus berperan aktif dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya, termasuk dalam aspek ketenagakerjaan. Oleh karena itu, sistem Islam mewajibkan negara untuk memastikan setiap individu memiliki akses terhadap pekerjaan yang layak atau mendapatkan bantuan jika tidak mampu bekerja.

Di sisi lain jelas terlihat bahwa, meskipun ada jaminan secara hukum, atas mekanisme penyampaian aspirasi rakyat, namun masih mengalami kendala dalam praktiknya. Mengenai hal ini pun, Islam menegaskan bahwa rakyat berhak mengoreksi penguasa, disamping negara juga harus memastikan bahwa aspirasi tersebut ditindaklanjuti melalui kebijakan yang adil.

Dalam Islam, penyampaian pendapat oleh rakyat kepada penguasa bukan hanya diperbolehkan, tetapi menjadi bagian dari kontrol sosial yang penting. Ini menunjukkan bahwa kritik terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat bukan hanya hak, tetapi juga kewajiban bagi setiap individu. Oleh karenanya, Islam memberi pedoman bahwa penguasa harus membuka ruang bagi rakyat untuk menyampaikan pendapatnya dengan cara yang benar dan sesuai syariat.

Adapun Demokrasi yang notabene merupakan sistem pemerintahan yang saat ini diterapkan, seringkali menjanjikan keterwakilan rakyat. Tetapi dalam kenyataannya acap kali justru mengecewakan rakyat, bahkan cenderung lebih menguntungkan kelompok tertentu. Sungguh sangat berbeda dengan Islam, di mana Islam memandang bahwa kepemimpinan adalah amanah yang harus dijalankan dengan adil dan transparan.

Dalam sistem Islam, kepemimpinan bukanlah sekadar jabatan politik, tetapi merupakan tanggung jawab besar yang harus dijalankan dengan penuh keadilan. Rasulullah ﷺ bersabda: _”Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian.” (HR. Muslim)_.

Hadis ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam Islam bukanlah sekadar representasi politik, tetapi harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Dalam sejarah peradaban Islam, sistem kepemimpinan berbasis syariat telah terbukti mampu menjaga hak-hak rakyat secara lebih adil.

Mewujudkan Keadilan dalam Tata Kelola Masyarakat

Untuk itu, Islam menawarkan sistem yang menyeluruh dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Di mana dalam Islam, negara bertanggung jawab memastikan bahwa setiap individu memiliki akses terhadap pekerjaan yang layak. Jika ada individu yang tidak memiliki pekerjaan, negara harus memberikan bantuan hingga mereka mendapatkan penghasilan yang mencukupi. Rasulullah ﷺ bersabda: _”Barang siapa yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan, maka ia tidak beriman.” (HR. Hakim)_.

Ini menunjukkan bahwa kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan negara. Oleh karena itu, dalam sistem Islam, pengelolaan sumber daya alam, industri, dan lapangan kerja diarahkan untuk kemaslahatan rakyat, bukan hanya kepentingan segelintir pihak.

Islam pun memberikan ruang bagi rakyat untuk mengoreksi pemimpin mereka melalui mekanisme muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa). Termasuk juga mewajibkan pemimpin untuk mendengar keluhan rakyat dan meresponsnya dengan kebijakan yang adil. Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata: _”Tidak ada kebaikan pada kalian jika kalian tidak mengatakan yang benar, dan tidak ada kebaikan pada kami jika kami tidak mendengarkannya.”_ Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, kritik terhadap kebijakan yang tidak adil bukan hanya diperbolehkan, tetapi juga dianjurkan sebagai bagian dari mekanisme kontrol sosial.

Dalam sistem Islam, pemimpin bukan hanya sekadar perwakilan rakyat, tetapi juga pelayan yang bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: _”Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR. Abu Nu’aim)_. Prinsip ini memastikan bahwa penguasa tidak hanya dipilih berdasarkan popularitas, tetapi karena kompetensinya dalam menjalankan hukum yang adil dan berpihak pada rakyat.

Penutup

Dinamika sosial yang terjadi saat ini, mencerminkan adanya persoalan yang terjadi dalam tata kelola sistem pemerintahan. Maka Islam hadir sebagai solusi komperhensif guna memecahkan beragam persoalan yang terjadi, termasuk ketidakpastian ketenagakerjaan, kebebasan berpendapat yang masih menghadapi kendala, serta hak politik yang belum sepenuhnya terakomodasi. Di sinilah perlunya sistem yang lebih adil, serta berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

Dengan penerapannya dalam seluruh aspek kehidupan maka, keadilan sosial dapat terwujud secara nyata. Sebab sistem Islam bukan sekadar teori, tetapi telah terbukti mampu menciptakan kesejahteraan dalam sejarah peradaban manusia secara universal. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk mempertimbangkan kembali bagaimana nilai-nilai Ilahiah ini dapat diwujudkan dalam membangun tata kelola masyarakat yang lebih berkeadilan. Wallahu ‘alam.

 

*) Penulis adalah Aktivis Muslimah, Tinggal di Kampung Seram Kota Kaimana


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Konten Ini Terlindungi !!!
Please disable your adblock for read our content.
Segarkan