Editorial : Membaca Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

0

Sejak 1990-an, UNDP menetapkan IPM sebagai satu-satunya alat yang digunakan untuk mengukur kemajuan suatu negara beserta daerahnya. Indikator ini sudah menjadi pengukur baku oleh Bank Dunia selain untuk mengetahui kemajuan daerah juga menjadi salah pertimbangan mereka dalam memberikan dukungan pinjaman untuk pembiayaan pembangunan.

Di Indonesia, pemerintah pusat telah lama mengggunakan IPM sebagai alat ukur utama dalam menilai kemajuan pembangunan daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota. Dengan mengetahui IPM suatu daerah, secara langsung dapat diketahui apakah daerah ini termasuk dalam IPM level tinggi, sedang, atau rendah.

Dengan mengetahui besaran angka IPM yang di publish oleh instansi berwenang dalam hal ini Badan Pusat Statistik setiap tahun, maka pemerhati pembangunan dan masyarakat harusnya dapat membaca sejauh mana masyarakat mendapatkan layanan yang baik dari pemerintah untuk urusan-urusan wajib yang menjadi hak dasarmmasyarakat, berupa; 3 (tiga) dimensi (variabel) dasar seperti; Layanan Kesehatan (Usia Harapan Hidup/UHH), Layanan Pendidikan (Harapan Lama Sekolah/HLS dan Rata-rata Lama Sekolah/RLS, serta Layanan Ekonomi (Purchosing Power Parity). Kesemuanya ini berujung pada upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat sebagai pemilik pembangunan (owner) yang wajib diberikan oleh pemerintah sebagai pelayannya (public service). Kalimat sederhana agar mudah dimengerti oleh semua adalah bahwa yang meliputi tiga dimensi berupa; masyarakat yang dilayani pemerintah dapat hidup sehat dan umur panjang, masyarakat yang berpengetahuan, dan masyarakat yang memiliki standard hidup layak.

Dengan demikian ketika melihat, dan membaca IPM suatu daerah (propinsi dan kabupaten/kota), maka dengan sendirinya kita dapat mengetahui sejauhmana pemerintah telah memenuhi kewajibannya dalam memberikan layanan yang prima kepada masyarakat. Jika IPM tinggi, itu berarti layanan pemerintah ke masyarakat tinggi, begitu pula jika sedang bahkan rendah, maka sudah pasti layanan pemerintah juga sedang bahkan rendah. Penjelasan ini sangatlah pentin agar kita sepaham dalam melihat kemajuan suatu daerah. Banyak terjadi salah kaprah dalam melihat kemajuan suatu daerah atau bisa juga disebut dengan gagal paham, karena melihat pembangunan kemajuan daerah dengan panjangnya jalan yang dibangun, gedung pemerintahan yang bertingkat, kendaran dinas yang bagus, bandara yang ramai karena didarati pesawat jumbo ?. Bukannya ini tidak penting, tapi pertanyaanya apakah yang dibuat ini sudah menjadi pengungkit bagi terwujudnya layanan dasar pemeritah kepada masyarakat terhadap ketiga dimensi dasar yang disebutkan dalam IPM ?.

Apa manfaat IPM ?

Angka IPM yang dipublikasikan oleh BPS setiap tahun merupakan indikator terukur dari kajian tiga dimensi dasar yang disebutkan diatas guna menilai sejauh mana masyarakat telah mendapatkan layanan yang berkualitas dari pemerintah untuk dapat hidup sehat dan umur panjang, berpengetahuan, dan standard hidup layak.

Ketiga dimensi ini adalah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyediakannya dan dapat diakses setiap saat oleh masyarakat sebagai tuan didalam sebuah daerah otonom. Sejauh mana hal ini terjadi tergantung pada ketersediaan layanan dan raport dari hasil kerja pemeruntah yang dibuat BPS.

IPM juga digunakan oleh pemerintah pusat untuk menentukan besaran DAU yang akan diberikan ke daerah, jika tinggi maka DAU yang di transfer besar, begitu pula sebaliknya.

Bagaimana menghitung IPM ?

Perkembangan dan dinamika pembangunan yang terjadi turut memaksa pihak terkait untuk memperbaharui metodologi dan cara perhitungan IPM itu sendiri.

Ada beberapa variabel yang sejak 2014 lalu mengalami perubahan dalam menformulasikan perhitungannya. Beberapa variabel dirasa sudah tidak tepat untuk digunakan dalam perhitungan IPM seperti; Angka Melek Huruf karena tidak dapat menggambarkan secara objektif kualitas pendidikan di suatu daerah dan diakui bahwa angka melek huruf di sebagian besar daerah sudah tinggi sehingga tidak dapat membedakan tingkat pendidikan antar daerah dengan baik.

Dapat dilihat bahwa program pendidikan yang bersifat paket banyak sekali dibuat di daerah sehingga anak usia sekolah tidak lagi mengikuti proses belajar dengan baik sesuai standard, hal ini juga menjadi sebuah permasalahan yang akhirnya rumusan perhitungannya dirubah.

Begitu pula terhadap dimensi ekonomi, pertama; yang dulunya menggunakan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita diganti dengan Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita karena tidak dapat memberi gambaran tentang pandapatan riil masyarakat pada suatu wilayah otonom. Dengan dimasukannya PNB per kapita diharapkan dapat memberikan gambaran riil terhadap pendapatan masyarakat.

Kedua, cara perhitungan lalu dengan menggunakan rumus rata-rata aritmatika dalam penghitungan IPM memberi gambaran bahwa capaian yang rendah di salah satu dimensi dapat ditutupi oleh capaian tinggi dari dimensi lain. Banyak daerah memanfaatkan celah ini untuk menaikan IPM nya dengan cara hanya fokus pada salah satu dimensi saja pasti IPM meningkat tanpa perlu memberi perhatian pada kedua dimensi lainnya, padahal diketahui bahwa masyarakat sangat membutuhkan semua dimensi guna merubah kualitas hidupnya yaitu; pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.

Agar manipulasi cara berpikir dan bekerja melayani rakyat dengan baik, maka metode rumusan aritmatikanya dirubah dengan menggunakan formula rata-rata geometrik. Dengan demikian pemerintah tidak hanya fokus pada kerjaan dan layanan satu dimensi saja dengan mengharapkan IPM akan meningkat tanpa berupaya maksimal untuk menata layani dua dimensi lainnya. Prinsipnya, jika IPM mau meningkat maka pemerintah wajib bekerja dengan sungguh untuk meningkatkan layanan pada ketiga dimensi dimaksud sebagai urusan wajib.

Itulah mengapa negara telah mengamanatkan dalam moratorium bahwa peruntukan anggaran untuk bidang pendidikan minimal 20% dari APBD setiap tahun, begitu pula dengan bidang kesehatan dan lainnya. Pertanyaan selanjutnya adalah jika alokasi anggaran telah ditetapkan sesuai dengan yang diamanatkan, apakah isinya benar dapat menjawab Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS), ataukah justru dialokasikan pada besaran perjalanan dinas, makan minum rapat, dan lain-lain yang ujungnya tidak memberikan impact bagi HLS dan RLS ?.

Hanya Tuhan sajalah yang tau semuanya, karena kabar selanjutnya akan memberikan kepada kita semua angka dari hasil kerja BPS untuk propinsi dan kabupaten/kota yang ada di Tanah Papua, sehingga tidaklah berlebihan dalam sebuah tulisan ilmiah DR. Agus Sumule memberi statement bahwa “muncul lagi tiga propinsi baru termiskin di Indonesia”.
Tokoh Manajemen Modern Peter F. Drucker memberikan statementnya dalam sebuah diskusi/seminar (The Daily Drucker) mengatakan bahwa; “sesungguhnya tidak ada negara miskin, yang ada adalah negara yang salah kelolah”.
Dalam pembukaan kuliah semester gasal lalu di Politeknik Lengguru disampaikan oleh Prof. DR. Balthazar Kambuaya, MBA yang juga mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Rektor Universitas Cendrawasih memberikan penekanan dengan melihat data statistik yang memberi gambaran tentang Papua yang jauh dibelakang bila dibandingkan dengan daerah lain hanya dapat diperbaiki dengan Leadership (sebagai pelayan) yang baik dan Manajemen yang kuat (strong management). SEMOGA!


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Konten Ini Terlindungi !!!
Please disable your adblock for read our content.
Segarkan