Kaimana, ‘Kota Senja’ yang Mulai Salah Dimaknai

0
www.kabartriton.co.id

 

(Sebuah Catatan Refleksi)

Karya : Mauludin Wamoi*

Terletak di bagian barat Pulau Papua dengan garis pantai yang berhadapan langsung dengan Laut Arafura (Samudra Pasifik), menjadikan Kabupaten dengan julukan “Kota Senja” terkenal hingga ke pelosok negeri. Melalui lagu yang berjudul “Senja di Kaimana”, Alfian Harahap atau pria dengan nama lengkap Alfian Rusdi Nasution (Binjai, 27 April 1943), nama Kaimana semakin dikenal.

Lagu yang dirilis pada awal 1960’an itu jualah, yang membantu sebagian anak muda di Negeri ini, untuk mengenalkan diri mereka, jika ada pertanyaan “Kamu asal dari mana?” Satu dua bait lagu itu akan diperdengarkan, akan menghadirkan sejumlah kenangan terindah, bagi mereka yang berada di usia senja.

Kalau kita merujuk pada julukan yang disematkan pada Kota ini, lalu melihat kenyataanya, maka kita tidak bisa menafikkan bahwa senja di Kota ini sangatlah indah. Kata “senja” yang disematkan pada kota ini pun, telah mengilhami orang muda Kota ini dalam berinteraksi di mana pun. Kata itu telah menjadi filosofi hidup orang di Negeri ini.

Sebelum jauh ke sana saya piker, kita perlu mengetahui apa itu senja dan filosofinya.

Senja menandakan hari mulai gelap. Selain itu, senja adalah penanda akan berakhirnya siang, dan akan beradu menjadi malam. Senja juga mempunyai makna yang berbeda-beda bagi tiap orang. Ada yang memaknai senja sebagai keramahan dan kebaikan, yang jika dihasilkan dengan tulus, maka tidak perlu disuarakan dan biarkan orang lain menilainya.

Dari senja jualah, kita belajar untuk melepaskan dengan penuh keiklasan dalam sebuah proses kehidupan, melepaskan apa yang telah menjadi kepunyaan kita. Kita pun tidak pernah luput, mulai dari jabatan duniawi hingga dipanggil pulang oleh Tuhan yang Maha Kuasa.

Selain itu, senja juga menawarkan pengertian yang lain dalam hubungan social antar satu dengan lainnya, hubungan yang biasa disebut dengan romantisme, membuat setiap orang berani hadir dengan apa yang menjadi miliknya, lalu merelakan orang lain memilikinya, dengan penuh sadar. Maka dengan sendirinya, kedamaian dan keramahan hadir di setiap orang yang terlibat dengan romantisme itu.

Kiranya, beginilah sederatan filosofi senja yang bisa kita maknai dari kata yang disematkan pada Kota ini, tergantung dari sudut panang mana kita berdiri.

Kota senja, belakangan kata ini mulai absurd bunyinya, terpampang di depan public? Dengungnya ada di gendang telinga? Tapi sayangnya kata ini mungkin akan tinggal nama sama seperti senjanya yang bisa dinikmati, tapi hanya sekerdar dinikmati tanpa benar-benar diilhami sebagai filosofi hidup orang di negeri ini.

Pergeseran makna ini semakin melebar dengan pergantian tampuk kepemimpinan di negeri ini, yang tidak lagi melekat pada personal tiap orang yang memimpin, tetapi ada pada lembaga yang dipimpin, sehingga untuk merubahnya, kita perlu waktu yang lama.

Kota dengan luas wilayah daratan 18.500 Km2, dengan populasi penduduk di tahun 2020 berjumblah 64.660 jiwa, di mana populasi tebesar berada di Ibukota Kabupaten yakni 69,07%. Dengan wilayah seluas itu dan populasi penduduk yang bisa dibilang berbanding terbalik ini, harusnya bisa menghadirkan kedamaian seperti yang dilukiskan oleh senjanya. Sebab, semua orang bisa saja ‘bersingguna’ di ruang-ruang public, semisal pasar, tempat ibadah dan juga tempat-tempat rekreasi lainnya.

Bukanlah suatu hal yang ‘utopis kalau kita orang muda mau melakukan itu sembari mencopot segudang pe-label-an- lain yang sedang diupayakan untuk menempel pada nama, di balik nama yang telah melegenda di Kota ini. Ya, nama itu, nama yang melembutkan hati, menenangkan jiwa sembari mendorong tiap orang untuk berkarya, tanpa perlu mengharapkan sanjungan. Tapi diam-diam, sanjungan itu didapatkan berkat keikhlasan dan ketulusan, layaknya senja yang tetap menghadirkan warna keemasan, walau badai timur menghantamnya.

Kaimana dibangun di atas pondasi kebersamaan yang telah lama terpatri dalam filosofi hidup orang-orang Bomberai, saat ini istilah kebersamaan itu sangat kental digemakan di wilayah Fakfak, “satu tungku tiga batu” secara sosiologis masyarakat Kaimana masih mengamini makna dalam kata itu, sebagai bagian dari wilayah yang pernah menjadi salah satu Distrik dari Kabupaten Fakfak, sebelum akhirnya di mekarkan dengan berpedoman pada UU Nomor 26 Tahun 2002. Yang pada akhirnya pembentukan dan peresmiannya jatuh pada tangal 12 April 2003 silam.

Jika Kota ini diibaratkan sebagai manusia, maka saat ini usianya telah mecapai usia remaja 18 tahun. Kota yang sedang ada dalam tahap pembentukan jati diri, mau menentukan diri sebagai kota wisata atau kota apa? Anak mudalah yang bisa menjawabnya.

***

Kebersamaan yang ada dalam filosofi “satu tungku tiga batu” bisa dilihat dari banyaknya suku asli Kaimana yaitu  Kuripasai, Miereh, Maerasi, Irarutu, Koiway, Oburau, Madewana, Kuri dan juga suku pendatang. Di wilayah Bomberai sendiri ada terdapat 19 suku asli Papua, yang mana Kaimana menyumbang 8 di antara 11 lainnya. Bukankah Kota kita ini, Kota yang sangat heterogen?

Landasan filosofis yang sudah dijabarkan sebelumnya, kalau saja bisa kita maknai dengan sebaik mungkin, maka kita tidak lagi melihat cekcok yang berkepanjangan antar simpatisan politik yang tahun politiknya sudah selesai, tapi euforia menang-kalah dalam pesta demokrasi itu, hingga kini masih menyengat aroma pembusukannya, mulai dari saling fitnah, hingga ribut-ribut di dunia maya, akun palsu berseliweran merasa paling benar, dan saling sikut.

Kita belum pernah jatuh sebagai Kabupaten yang baru, tapi kata “bangkit” seolah memaksa kita untuk berpikir keras tentang bagaimana caranya berdiri. 8 poin nilai luhur yang disematkan pada lambang Kabupaten ini, bisa saja tidak banyak dari kita yang tahu, dan benar-benar memaknainya kalau pun lambang itu ada pada lengan kiri para ASN yang telah mengikrarkan waktunya, dari pagi hingga petang untuk berbuat sesuatu demi kemajuan Kota Senja.

Akhir kata saya mengajak anak muda Kota Senja untuk memaknai landasan filosofis yang telah diwariskan oleh leluhur, implementasikan nilai-nilai luhur itu dalam laku budaya kita orang muda. Jika merasa sebagian dari filosofi itu tidak lagi relevan dengan zaman ini, orang muda boleh ‘mereparasinya’, tapi tidak boleh merubah bentuk aslinya. Sebab, merawat keasrian, adalah budaya kita Orang Timur. Semoga.***

 

*Penulis adalah Mahasiswa Jurnalistik Ilmu Komunikasi UIN SULTAN SYARI KASIM-RIAU

 


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Konten Ini Terlindungi !!!
Please disable your adblock for read our content.
Segarkan